SM3T UNNES Angkatan VI Kabupaten Tolitoli |
SM-3T yang kepanjangannya adalah Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal merupakan sebuah program gagasan dari pemerintah untuk mengatasi masalah dalam dunia pendidikan di tanah air. Program ini telah berjalan 5 tahun dan pada tahun 2016 SM-3T sampai pada angkatan yang ke enam. Mendengar berbagai artikel dan cerita dari teman-teman, saya pun tertarik untuk mengikuti program ini selepas lulus dari kuliah.
Sebelum
bercerita lebih jauh tentang pengalaman saya mengikuti program ini, perkenalkan
nama saya Taufik Yulianto. Saya adalah lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Negeri Semarang. Setelah lulus kuliah pada tahun 2015, saya
mengajar di sebuah Sekolah Dasar di kabupaten Magelang. Beberapa bulan saya
mengajar, saya masih cari-cari informasi tentang penerimaan SM-3T. Sampai pada
bulan Mei, ada pengumuman penerimaan SM-3T untuk angkatan VI dan saya pun ikut
mendaftar. Semua tahap pendaftaran saya lalui dengan baik hingga pada tahap
pengumuman. Sempat berkecil hati pada waktu menunggu pengumuman, karena
terdengar kabar bahwa penerimaan angkatan VI kuotanya sangat sedikit.
Tibalah
saatnya pengumuman pada tanggal 5 Agustus 2016. Alhamdulillah nama saya masuk dalam daftar peserta SM-3T Unnes
angkatan VI. Tahap yang harus dilalui berikutnya sebelum penempatan di daerah
3T adalah kegiatan Prakondisi yang diaksanakan pada tanggal 15 sampai 31
Agustus 2016 bertempat di Bandungan, Kab. Semarang. Ada beberapa agenda
kegiatan yang dilaksanakan pada saat Prakondisi, seperti pembagian rombongan
belajar (rombel), workshop pendidikan, kurikulum, pramuka sampai dengan
kegiatan ketahanmalangan. Menjelang berakhirnya kegiatan Prakondisi, ada
pengundian dan pengumuman penempatan daerah 3T yang menjadi tujuan. Saya yang
masuk dalam rombel VI dan mendapatkan penempatan di kabupaten Tolitoli,
provinsi Sulawesi Tengah. Daerah yang namanya masih asing di telinga saya.
Setelah selesai kegiatan Prakondisi disampaikan pengumuman bahwa pemberangkatan
akan dilaksanakan pada tanggal 5 September 2016.
Prakondisi SM-3T UNNES Angkatan VI di Bandungan, Kab. Semarang |
Senin
tanggal 5 September 2016 tepat sekitar pukul 14.00 WIB, perjalanan dimulai dari
gedung LPTK UNNES, Sekaran, Gunung Pati, Semarang. Perjalan rombongan SM-3T kabupaten
Tolitoli menggunakan 2 buah bus menuju ke bandar udara Ahmad Yani, Semarang.
Perjalanan
kami ke bandara kami tempuh selama ± 30 menit. Sesampai di sana kami langsung
menuju pintu keberangkatan, tapi belum diizinkan masuk karena masih ada
administrasi yang belum diselesaikan oleh biro perjalanan. Kami menunggu tidak
lama, hanya 30 menit-an. Namun kondisi di bandara yang penuh sesak ditambah
lagi suhu di kota Semarang yang panas membuat keringat kami mengalir dengan
deras. Ibarat kue lebaran kami serasa masuk ke dalam oven, panas sekali.
Sekitar
pukul 15.00 WIB kami mulai memasuki pintu keberangkatan, barang bawaan kami
diperiksa menggunakan mesin X-ray dan
tubuh kami dipindai menggunakan alat pendeteksi logam. Hal ini dilakukan untuk
mencegah penumpang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan
penerbangan. Sesuai dengan boarding pass yang telah kami terima, penerbangan kami
dijadwalkan pukul 17.35 WIB menggunakan pesawat Lion Air dengan nomor
penerbangan JT666 menuju kota Balikpapan di Kalimantan Timur. Sembari menunggu
waktu, sebagian dari kami melaksanakan sholat dan sebagian dari kami menyantap
nasi kotak yang telah disiapkan oleh biro jasa yang mengurus keberangkatan
kami.
Sampai
waktunya tiba, kami mulai berjalan memasuki pesawat yang akan kami gunakan.
Sesuai dengan SOP penerbangan, sebelum pesawat take off pramugari memperagakan cara menggunakan alat keselamatan
ada di pesawat. Mulai dari sabuk pengaman, alat pelampung, masker oksigen
sampai penjelasan tentang jalur evakuasi.
Ini
adalah pengalaman pertama saya naik pesawat terbang. Rasanya diawal seperti
naik bus dengan kecepatan tinggi, kemudian ketika pesawat take off berasa seperti naik roller
coaster saat lintasan naik. Ketika terbang di atas, suara mesin pesawat
cukup mengganggu pendengaran. Tetapi gangguan itu tak berarti ketika melihat
pemandangan dari ketinggian sekitar 7000 mdpl yang tampak luar biasa. Rasa
syukur kepada Allah SWT bertambah besar ketika melihat bumi dan seisinya tampak
kecil dilihat dari atas ketinggian.
Pertama kali naik montor mabur :D |
Perjalanan
udara pun sampai di bandar udara Sultan Aji Mahmud Sulaiman Sepinggan,
Balikpapan. Di sini dibuat takjub dengan kondisi bandara yang sangat bersih,
modern dan besar. Hanya ada waktu sekitar 40 menit untuk mengurus boarding pass sampai waktunya terbang
kembali menggunakan pesawat Lion Air JT858 menuju ke bandar udara Mutiara Sis
Al Jufri, Kota Palu.
Tiba
di Palu sekitar pukul 23.00 WITA, di sana sudah menunggu pendamping dari Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tolitoli serta beberapa mini bus yang siap
mengantar kami ke Kota Tolitoli. Perjalanan darat di tanah Sulawesi pun
dimulai. Melewati beberapa sudut kota Palu pada malam hari, jalanan terasa
semakin gelap ketika sampai di luar kota. Jalan Trans Sulawesi yang menjadi
penghubung antar provinsi menjadi jalan utama yang kami lewati. Kondisi jalan
antar provinsi ini jauh lebih parah dari jalan antar kabupaten di Jawa, bahkan
di Kabupaten Donggala, masih banyak jalan yang belum diaspal dengan baik, dan
penerangan pun masih minim, bahkan tidak ada sama sekali sehingga pengendara
kendaraan harus berhati-hati melewati jalan tersebut.
Perjalanan
berhenti beberapa kali, untuk sekedar melepas lelah, buang air hingga istirahat
sholat. Setelah sampai di Kecamatan Dampal Selatan, yakni kecamatan di ujung
selatan Kabupaten Tolitoli yang berbatasan dengan Kabupaten Donggala, kami singgah
di sebuah SMA untuk istirahat dan sarapan. Setelah waktu istirahat dirasa cukup
perjalanan pun dilanjutkan melewati beberapa kecamatan di Kabupaten Tolitoli.
Perjalanan dengan pemandangan yang jarang, bahkan belum pernah aku temui
sebelumnya. Di sebelah kanan tampak barisan pegunungan berjejer dengan
kokohnya, sementara di sebelah kiri tampak luas dan bersihnya lautan di
sepanjang garis pantai Kabupaten Tolitoli. Jalanan yang kami lewati berliku dan
naik-turun bukit, sehingga beberapa teman yang tidak terbiasa merasakan mual
dan mabuk perjalanan. Perjalanan yang melelahkan sekaligus mengasyikan ini kami
lalui selama kurang lebih 12 jam, jadi pada hari Selasa tanggal 6 September
2016 sekitar pukul 13.00 WITA kami sampai di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
kabupaten Tolitoli. Di sana sudah tampak beberapa kepala dinas pendidikan
kecamatan dan kepala sekolah yang sekolahnya akan kami tempati selama 1 tahun
ke depan.
Setelah
bersih diri dan istirahat secukupnya, semua peserta SM3T berkumpul di gedung pertemuan Disdikbud untuk melakukan
kegiatan serah terima dari Kemdikbud-LPTK UNNES kepada Disdikbud Kabupaten
Tolitoli. Penyerahan peserta dilakukan oleh Sekretaris LP3 UNNES, Dr. Sugianto,
M.Si yang kemudian diterima oleh Wakil Bupati Kabupaten Tolitoli, H. Abdul Rahman.
Acara serah terima
diakhiri dengan pengumuman nama-nama peserta penempatan untuk tiap kecamatan
dan sekolah, setelah itu dilakukan sesi foto bersama Kadisdikbud dan Wakil
Bupati serta beberapa kepala sekolah. Setelah rangkaian acara selesai, setiap
peserta langsung berangkat menuju ke penempatan masing-masing. Saya mendapatkan
penempatan di Kecamatan Basidondo yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari
Kota Tolitoli. Perjalanan ke Basidondo saya bersama 3 teman lain, yaitu Sukma
Kartika Abiddin, Ulinnuha Musthofa dan Rena Legina Isnintia diantar oleh kepala
sekolah SMK N 1 Basidondo, Bapak Endin Rusdiana. Perjalanan sampai sekitar
pukul 19.00 WITA, setelah mengantar teman ke tempat tinggal masing-masing,
sampailah di depan sebuah rumah permanen berwarna hijau dengan tiang merah
muda, yakni rumah Bapak Daeng Mamuji seorang kepala sekolah SDN 2 Sibaluton. Di
situlah tempat tinggal saya pertama di tanah Sulawesi.
Pada acara serah terima di kabupaten disampaikan jika
wilayah kecamatan Basidondo adalah kecamatan yang memiliki jalan bagus, listrik
lancar tetapi belum memiliki sinyal telepon, hal tersebut terbukti ketika saya
telah tiba di sini. Lambang sinyal di hp menjadi panggilan darurat tanpa adanya
jaringan. Ada sinyal tetapi di titik-titik tertentu di beberapa tempat.
Masyarakat biasa memberi tanda dengan sebuah tiang kayu, sehingga ketika ingin
menggunakan jaringan telepon, hpnya diikat di tiang tersebut. Ini adalah
tantang saya pertama untuk tinggal di sebuah tempat yang tidak memiliki jaringan
telepon.
Bersama rekan guru di SDN 2 Sibaluton Kabupaten Tolitoli |
Perjuangan mencari sinyal untuk berkomunikasi dengan keluarga di Jawa |
Selama
mengabdi di sini, saya mendapatkan tugas dari kepala sekolah untuk mengajar di
kelas V. Kelas tersebut terdiri dari 30 siswa, tetapi hanya ada 28 siswa yang
aktif masuk ke sekolah. Siswa dengan berbagai latar belakang suku ada di kelas
ini. Ada suku Tolitoli, Dondo, Bugis, Mandar dan bahkan suku Jawa juga ada.
Awal mengajar di sini, saya masih agak kebingungan dengan bahasa yang digunakan
oleh anak-anak. Walaupun sebagian besar komunikasi di sekolah adalah
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa
Indonesia yang sudah bercampur dengan bahasa lokal sehari-hari.
Halaman sekolah dengan pemandangan bukit Cengkeh |
Di
SDN 2 Sibaluton terdapat delapan guru dan tenaga kependidikan yang terdiri dari
enam guru kelas, satu orang tenaga administrasi dan satu orang penjaga sekolah.
Dari kedelapan orang tersebut, hanya ada tiga orang yang berstatus PNS, yakni
kepala sekolah, satu tata usaha dan satu penjaga sekolah. Enam tenaga yang lain
masih berstatus honorer dan dengan disiplin ilmu yang tidak sesuai, yakni bukan
lulusan dari Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Keadaan seperti ini merata
hampir di semua sekolah yang ada di kabupaten Tolitoli. Kebanyakan PNS guru yang
ada di kabupaten Tolitoli menumpuk di ibukota kabupaten, sehingga
sekolah-sekolah yang ada di wilayah kecamatan lain mengalami kekurangan guru.
Setelah sekitar dua minggu saya tinggal di rumah kepala
sekolah, saya pun pindah di perumahan SDN 1 Basi yang berjarak sekitar 200
meter dari tempat tinggal kepala sekolah saya. Di sana saya tinggal bersama
teman yang bertugas di SDN 1 Basi, yaitu Sukma Kartika Abiddin. Di sini kami
mulai belajar bagaimana memasak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satu
pengalaman yang saya dapatkan dari mengikuti program SM-3T ini adalah belajar
menjadi pribadi yang lebih mandiri.
Guru SM3T Kec. Basidondo bersama pejabat dan guru di lingkungan kec. Basidondo |
Tempat pengabdian selama satu tahun di Tolitoli |
Bapak dan Ibu guru kece SDN 2 Sibaluton |
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan :') |
Tetap semangat belajar, nak. Raih cita-cita kalian! |
Kalian adalah salah satu inspirasiku. |