Menerangi dalam Kegelapan.

SELAMAT DATANG DI BLOG TAUFIK YULIANTO | Follow twitter & instagram @taufikyulian21 | SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADAN 1441 H | Mari bergerak bersama untuk memutus penyebaran virus Covid-19 | tetap #dirumahaja dan jangan lupa #pakaimasker jika keluar rumah |

Sep 23, 2017

Inspirasi dari Bumi Tolitoli

           
SM3T UNNES Angkatan VI Kabupaten Tolitoli
      SM-3T yang kepanjangannya adalah Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal merupakan sebuah program gagasan dari pemerintah untuk mengatasi masalah dalam dunia pendidikan di tanah air. Program ini telah berjalan 5 tahun dan pada tahun 2016 SM-3T sampai pada angkatan yang ke enam. Mendengar berbagai artikel dan cerita dari teman-teman, saya pun tertarik untuk mengikuti program ini selepas lulus dari kuliah. 
Sebelum bercerita lebih jauh tentang pengalaman saya mengikuti program ini, perkenalkan nama saya Taufik Yulianto. Saya adalah lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Semarang. Setelah lulus kuliah pada tahun 2015, saya mengajar di sebuah Sekolah Dasar di kabupaten Magelang. Beberapa bulan saya mengajar, saya masih cari-cari informasi tentang penerimaan SM-3T. Sampai pada bulan Mei, ada pengumuman penerimaan SM-3T untuk angkatan VI dan saya pun ikut mendaftar. Semua tahap pendaftaran saya lalui dengan baik hingga pada tahap pengumuman. Sempat berkecil hati pada waktu menunggu pengumuman, karena terdengar kabar bahwa penerimaan angkatan VI kuotanya sangat sedikit.
Tibalah saatnya pengumuman pada tanggal 5 Agustus 2016. Alhamdulillah nama saya masuk dalam daftar peserta SM-3T Unnes angkatan VI. Tahap yang harus dilalui berikutnya sebelum penempatan di daerah 3T adalah kegiatan Prakondisi yang diaksanakan pada tanggal 15 sampai 31 Agustus 2016 bertempat di Bandungan, Kab. Semarang. Ada beberapa agenda kegiatan yang dilaksanakan pada saat Prakondisi, seperti pembagian rombongan belajar (rombel), workshop pendidikan, kurikulum, pramuka sampai dengan kegiatan ketahanmalangan. Menjelang berakhirnya kegiatan Prakondisi, ada pengundian dan pengumuman penempatan daerah 3T yang menjadi tujuan. Saya yang masuk dalam rombel VI dan mendapatkan penempatan di kabupaten Tolitoli, provinsi Sulawesi Tengah. Daerah yang namanya masih asing di telinga saya. Setelah selesai kegiatan Prakondisi disampaikan pengumuman bahwa pemberangkatan akan dilaksanakan pada tanggal 5 September 2016.
Prakondisi SM-3T UNNES Angkatan VI di Bandungan, Kab. Semarang
Senin tanggal 5 September 2016 tepat sekitar pukul 14.00 WIB, perjalanan dimulai dari gedung LPTK UNNES, Sekaran, Gunung Pati, Semarang. Perjalan rombongan SM-3T kabupaten Tolitoli menggunakan 2 buah bus menuju ke bandar udara Ahmad Yani, Semarang.
Perjalanan kami ke bandara kami tempuh selama ± 30 menit. Sesampai di sana kami langsung menuju pintu keberangkatan, tapi belum diizinkan masuk karena masih ada administrasi yang belum diselesaikan oleh biro perjalanan. Kami menunggu tidak lama, hanya 30 menit-an. Namun kondisi di bandara yang penuh sesak ditambah lagi suhu di kota Semarang yang panas membuat keringat kami mengalir dengan deras. Ibarat kue lebaran kami serasa masuk ke dalam oven, panas sekali.
Sekitar pukul 15.00 WIB kami mulai memasuki pintu keberangkatan, barang bawaan kami diperiksa menggunakan mesin X-ray dan tubuh kami dipindai menggunakan alat pendeteksi logam. Hal ini dilakukan untuk mencegah penumpang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan. Sesuai dengan boarding pass  yang telah kami terima, penerbangan kami dijadwalkan pukul 17.35 WIB menggunakan pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT666 menuju kota Balikpapan di Kalimantan Timur. Sembari menunggu waktu, sebagian dari kami melaksanakan sholat dan sebagian dari kami menyantap nasi kotak yang telah disiapkan oleh biro jasa yang mengurus keberangkatan kami.
Sampai waktunya tiba, kami mulai berjalan memasuki pesawat yang akan kami gunakan. Sesuai dengan SOP penerbangan, sebelum pesawat take off pramugari memperagakan cara menggunakan alat keselamatan ada di pesawat. Mulai dari sabuk pengaman, alat pelampung, masker oksigen sampai penjelasan tentang jalur evakuasi.
Ini adalah pengalaman pertama saya naik pesawat terbang. Rasanya diawal seperti naik bus dengan kecepatan tinggi, kemudian ketika pesawat take off berasa seperti naik roller coaster saat lintasan naik. Ketika terbang di atas, suara mesin pesawat cukup mengganggu pendengaran. Tetapi gangguan itu tak berarti ketika melihat pemandangan dari ketinggian sekitar 7000 mdpl yang tampak luar biasa. Rasa syukur kepada Allah SWT bertambah besar ketika melihat bumi dan seisinya tampak kecil dilihat dari atas ketinggian.
Pertama kali naik montor mabur :D
Perjalanan udara pun sampai di bandar udara Sultan Aji Mahmud Sulaiman Sepinggan, Balikpapan. Di sini dibuat takjub dengan kondisi bandara yang sangat bersih, modern dan besar. Hanya ada waktu sekitar 40 menit untuk mengurus boarding pass sampai waktunya terbang kembali menggunakan pesawat Lion Air JT858 menuju ke bandar udara Mutiara Sis Al Jufri, Kota Palu.
Tiba di Palu sekitar pukul 23.00 WITA, di sana sudah menunggu pendamping dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tolitoli serta beberapa mini bus yang siap mengantar kami ke Kota Tolitoli. Perjalanan darat di tanah Sulawesi pun dimulai. Melewati beberapa sudut kota Palu pada malam hari, jalanan terasa semakin gelap ketika sampai di luar kota. Jalan Trans Sulawesi yang menjadi penghubung antar provinsi menjadi jalan utama yang kami lewati. Kondisi jalan antar provinsi ini jauh lebih parah dari jalan antar kabupaten di Jawa, bahkan di Kabupaten Donggala, masih banyak jalan yang belum diaspal dengan baik, dan penerangan pun masih minim, bahkan tidak ada sama sekali sehingga pengendara kendaraan harus berhati-hati melewati jalan tersebut.
Perjalanan berhenti beberapa kali, untuk sekedar melepas lelah, buang air hingga istirahat sholat. Setelah sampai di Kecamatan Dampal Selatan, yakni kecamatan di ujung selatan Kabupaten Tolitoli yang berbatasan dengan Kabupaten Donggala, kami singgah di sebuah SMA untuk istirahat dan sarapan. Setelah waktu istirahat dirasa cukup perjalanan pun dilanjutkan melewati beberapa kecamatan di Kabupaten Tolitoli. Perjalanan dengan pemandangan yang jarang, bahkan belum pernah aku temui sebelumnya. Di sebelah kanan tampak barisan pegunungan berjejer dengan kokohnya, sementara di sebelah kiri tampak luas dan bersihnya lautan di sepanjang garis pantai Kabupaten Tolitoli. Jalanan yang kami lewati berliku dan naik-turun bukit, sehingga beberapa teman yang tidak terbiasa merasakan mual dan mabuk perjalanan. Perjalanan yang melelahkan sekaligus mengasyikan ini kami lalui selama kurang lebih 12 jam, jadi pada hari Selasa tanggal 6 September 2016 sekitar pukul 13.00 WITA kami sampai di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Tolitoli. Di sana sudah tampak beberapa kepala dinas pendidikan kecamatan dan kepala sekolah yang sekolahnya akan kami tempati selama 1 tahun ke depan.
Setelah bersih diri dan istirahat secukupnya, semua peserta SM3T berkumpul  di gedung pertemuan Disdikbud untuk melakukan kegiatan serah terima dari Kemdikbud-LPTK UNNES kepada Disdikbud Kabupaten Tolitoli. Penyerahan peserta dilakukan oleh Sekretaris LP3 UNNES, Dr. Sugianto, M.Si yang kemudian diterima oleh Wakil Bupati Kabupaten Tolitoli, H. Abdul Rahman.
Acara serah terima diakhiri dengan pengumuman nama-nama peserta penempatan untuk tiap kecamatan dan sekolah, setelah itu dilakukan sesi foto bersama Kadisdikbud dan Wakil Bupati serta beberapa kepala sekolah. Setelah rangkaian acara selesai, setiap peserta langsung berangkat menuju ke penempatan masing-masing. Saya mendapatkan penempatan di Kecamatan Basidondo yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Kota Tolitoli. Perjalanan ke Basidondo saya bersama 3 teman lain, yaitu Sukma Kartika Abiddin, Ulinnuha Musthofa dan Rena Legina Isnintia diantar oleh kepala sekolah SMK N 1 Basidondo, Bapak Endin Rusdiana. Perjalanan sampai sekitar pukul 19.00 WITA, setelah mengantar teman ke tempat tinggal masing-masing, sampailah di depan sebuah rumah permanen berwarna hijau dengan tiang merah muda, yakni rumah Bapak Daeng Mamuji seorang kepala sekolah SDN 2 Sibaluton. Di situlah tempat tinggal saya pertama di tanah Sulawesi.
            Pada acara serah terima di kabupaten disampaikan jika wilayah kecamatan Basidondo adalah kecamatan yang memiliki jalan bagus, listrik lancar tetapi belum memiliki sinyal telepon, hal tersebut terbukti ketika saya telah tiba di sini. Lambang sinyal di hp menjadi panggilan darurat tanpa adanya jaringan. Ada sinyal tetapi di titik-titik tertentu di beberapa tempat. Masyarakat biasa memberi tanda dengan sebuah tiang kayu, sehingga ketika ingin menggunakan jaringan telepon, hpnya diikat di tiang tersebut. Ini adalah tantang saya pertama untuk tinggal di sebuah tempat yang tidak memiliki jaringan telepon.
           
Bersama rekan guru di SDN 2 Sibaluton Kabupaten Tolitoli
SDN 2 Sibaluton, tempat saya mengabdi berjarak sekitar 5 km dari rumah kepala sekolah. Perjalanan sejauh itu ditempuh melalui Jalan Trans Sulawesi menggunakan sepeda motor. Hari pertama di sekolah penempatan saya pun mulai melakukan observasi dan perkenalan dengan seluruh warga sekolah, baik guru, tenaga kependidikan dan juga siswa. Setelah berkenalan sebentar, saya diajak kepala sekolah untuk pergi ke suatu tempat yang memiliki jaringan telepon, bahkan jaringannya bisa dipakai untuk internet. Tempat tersebut berjarak sekitar 1 km dari sekolah. Masyarakat di sini biasa menyebutnya dengan nama KM. 3 (Kilo Tiga). Setelah mendapatkan jaringan telepon, saya pun menghubungi keluarga di rumah untuk memberikan kabar bahwa saya dalam keadaan sehat dan sudah berada di lokasi penempatan selama satu tahun di kabupaten Tolitoli. Mulai saat itu, setiap ingin menghubungi keluarga, saya pergi ke KM. 3 untuk mendapatkan jaringan telepon. Selain di KM. 3, teman-teman guru di SDN 2 Sibaluton juga biasa meletakkan hpnya di jendela kantor untuk mendapatkan jaringan telepon meski jaringannya kadang hilang, kalau orang-orang biasa menyebut jaringan GSM (Geser Sedikit Mati). Dari pengalaman ini, saya mengetahui betapa penting dan berharganya sebuah komunikasi, serta betapa pentingnya jaringan telepon.
           
Perjuangan mencari sinyal untuk berkomunikasi dengan keluarga di Jawa
Setiap masyarakat yang beda suku dan tempat tinggal, tentulah memiki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Masih di awal-awal berada di penempatan, ada hal yang menarik ketika saya disuguhi untuk makan siang. Di sana ada sebuah sayur hijau dengan kuah berwana merah seperti sirup, saya kira itu adalah sayur yang diberi sirup sehingga berwarna merah kuahnya, tapi ternyata itu adalah sayur yang berbahan bayam merah sehingga ketika dimasak kuahnya pun akan menjadi merah. Terkait dengan makanan, ada beberapa makanan yang asing bagi saya yang memang asli Jawa, seperti sayur paku, sayur kelor, hingga pisang dan ketela pohon yang dimasak dijadikan sayur. Tetapi, dari sinilah saya mendapatkan pengalaman yang berharga juga, saya bisa merasakan makanan khas dari bagian lain bumi pertiwi ini.
Selama mengabdi di sini, saya mendapatkan tugas dari kepala sekolah untuk mengajar di kelas V. Kelas tersebut terdiri dari 30 siswa, tetapi hanya ada 28 siswa yang aktif masuk ke sekolah. Siswa dengan berbagai latar belakang suku ada di kelas ini. Ada suku Tolitoli, Dondo, Bugis, Mandar dan bahkan suku Jawa juga ada. Awal mengajar di sini, saya masih agak kebingungan dengan bahasa yang digunakan oleh anak-anak. Walaupun sebagian besar komunikasi di sekolah adalah menggunakan bahasa Indonesia, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang sudah bercampur dengan bahasa lokal sehari-hari.
           
Halaman sekolah dengan pemandangan bukit Cengkeh
Sebagian besar siswa di sekolah yang saya tempati, berasal dari orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani atau pekebun. Komoditas utama masyarakat di sini adalah cokelat, kelapa dan cengkeh. Ketika musim panen cengkeh, biasanya akan banyak siswa yang jarang masuk ke sekolah dengan alasan membantu orang tua mereka panen cengkeh di kebun. Itu adalah salah satu kendala yang saya jumpai dalam mengajar di sini. Selain itu bahan ajar yang ada di sekolah juga terbatas, hanya ada satu buku pegangan yang dipakai guru. Sehingga saya harus pandai-pandai menyiasati penggunaan bahan ajar yang ada, agar pembelajaran dapat terus berjalan dengan baik.
Di SDN 2 Sibaluton terdapat delapan guru dan tenaga kependidikan yang terdiri dari enam guru kelas, satu orang tenaga administrasi dan satu orang penjaga sekolah. Dari kedelapan orang tersebut, hanya ada tiga orang yang berstatus PNS, yakni kepala sekolah, satu tata usaha dan satu penjaga sekolah. Enam tenaga yang lain masih berstatus honorer dan dengan disiplin ilmu yang tidak sesuai, yakni bukan lulusan dari Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Keadaan seperti ini merata hampir di semua sekolah yang ada di kabupaten Tolitoli. Kebanyakan PNS guru yang ada di kabupaten Tolitoli menumpuk di ibukota kabupaten, sehingga sekolah-sekolah yang ada di wilayah kecamatan lain mengalami kekurangan guru.
            Setelah sekitar dua minggu saya tinggal di rumah kepala sekolah, saya pun pindah di perumahan SDN 1 Basi yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat tinggal kepala sekolah saya. Di sana saya tinggal bersama teman yang bertugas di SDN 1 Basi, yaitu Sukma Kartika Abiddin. Di sini kami mulai belajar bagaimana memasak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satu pengalaman yang saya dapatkan dari mengikuti program SM-3T ini adalah belajar menjadi pribadi yang lebih mandiri.
           
Guru SM3T Kec. Basidondo bersama pejabat dan guru di lingkungan kec. Basidondo
Menjadi peserta SM-3T mengajarkan saya banyak hal. Saya belajar menjadi orang yang lebih mandiri, belajar menjadi seorang guru yang bisa bermanfaat tidak hanya untuk para siswa tetapi juga bermanfaat bagi sesama rekan guru, saya pun belajar hidup di masyarakat, belajar berorganisasi, belajar menghadapi masalah baik masalah secara personal maupun masalah yang berhubungan dengan kedinasan. Bersama rekan-rekan SM-3T yang berada di kecamatan Basidondo, saya pun belajar mengadakan sebuah lomba cerdas cermat yang diikuti oleh sekolah dasar dan menengah pertama yang ada di wilayah kecamatan Basidondo. Ini adalah pengalaman pertama saya mengadakan sebuah kegiatan lomba yang dilaksanakan di tingkat kecamatan.
           
Tempat pengabdian selama satu tahun di Tolitoli
 
Setahun memang bukan waktu yang sebentar, tetapi rasanya sangat singkat ketika kita menikmati sebuah perjalanan hingga sampai pada masanya harus berpisah. Menginjakkan kaki di tanah Sulawesi ini adalah sebuah perjalanan hidup yang tidak akan pernah saya lupakan. Terlalu banyak pengalaman dan kenangan yang saya dapatkan di sini. Saya bisa mengenal berbagai macam karakter orang, saya bisa mengenal saudara berbeda suku yang berada di sini, saya bisa mengenal siswa-siswi yang luar biasa, serta mengenal guru-guru yang memiliki dedikasi tinggi untuk ikut mencerdaskan anak-anak negeri. Terima kasih Tolitoli, terima kasih NKRI.
Bapak dan Ibu guru kece SDN 2 Sibaluton
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan :')
Tetap semangat belajar, nak. Raih cita-cita kalian!
Kalian adalah salah satu inspirasiku.
Share:

Iqro'

Kawanku

Powered by Blogger.