Menerangi dalam Kegelapan.

SELAMAT DATANG DI BLOG TAUFIK YULIANTO | Follow twitter & instagram @taufikyulian21 | SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADAN 1441 H | Mari bergerak bersama untuk memutus penyebaran virus Covid-19 | tetap #dirumahaja dan jangan lupa #pakaimasker jika keluar rumah |

Oct 19, 2012

Adakah Keadilan di Pengadilan?

Jum'at, 19 Oktober 2012. Ya hari ini, tepatnya tadi pagi untuk pertama kalinya aku mendapatkan pengalaman baru dan sisi lain dibalik megahnya sebuah hal yang sering disebut-sebut sebagai HUKUM dan KEADILAN. Awalnya aku hanya mendampingi kakak ku untuk menghadiri undangan sidang lalu lintas di sebuah Pengadilan Negeri. Perkaranya adalah konon karena ban motor yang terlalu kecil dan tidak berukuran standar. Entah standar itu menurut polisi itu pribadi, menurut undang-undang yang berpasal-pasal katanya atau kah standar menurut pabrikan yang membuat, tak pernah ku ketahui.
Waktu dalam surat tilang tertulis tanggal 19 Oktober 2012 pukul 09:00 WIB. Aku dan kakak ku berangkat sebelum pukul 09:00, karena jarak dari tempatku berangkat yang lumayan cukup jauh. Sekitar kurang lebih 30 menit kemudian, sampailah di sebuah gedung megah yang memiliki lambang "Keadilan" di bagian depan gedung yang terletak di pinggir jalan raya itu. Di sana telah nampak banyak sekali kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, kebanyakan memiliki tujuan sama dengan ku.
Pertama kali sampai di tempat itu, langsung ku hampiri sekumpulan orang-orang di depan tempelan kerta semacam pengumuman, ternyata mereka sedang melihat nomor urut mereka yang nantinya menentukan seorang "tersangka" sidang di ruang sidang mana. Singkat cerita, aku langsung aja ke lobby gedung itu, bertanya kepada seorang petugas, akhirnya dengan membayar Rp2.000,- aku mendapatkan informasi di mana aku akan melaksanakan sidang, dan langsung saja aku masuk ke ruang sidang II. Ruangan berukuran sedang tersebut penuh sesak diisi orang-orang yang akan mengikuti sidang. Banyak hal-hal baru dan lucu yang aku dapat setelah berada di ruangan tersebut.
Berkali-kali aku menengok ke arah jam dinding yang terletak di sudut belakang ruangan tersebut, jam sudah menunjukkan pukul 09:00 WIB, tapi sidang tak kunjung juga dimulai. Usut punya usut ternyata menunggu seorang hakim yang akan memimpin jalannya sidang. Setelah budaya molor khas Indonesia, akhirnya pada pukul 09:15 datanglah seorang ibu setengah baya berjilbab dan berjubah warna merah-hitam khas pemimpin sidang dari sudut pintu sebelah kiri ruangan. Tak lama setelah sang pemimpin sidang duduk di singgasana kebesarannya, akhirnya sidang perkara lalu lintas yang ditunggu banyak orang itu pun di mulai. Model sidangnya ternyata tidak seperti yang sering aku lihat di tipi-tipi itu, tetapi ada 5 kursi berjejer tepat di depan meja sidang. Setiap orang dipanggil untuk duduk di kursi tersbut, kemudian sang pemimpin sidang akan bertanya tentang pelanggaran yang lakukan dan kemudian membacakan jumlah denda yang harus dibayarkan kemudian. Di sini saya menemui sebuah lelucon dan sekaligus ironi tentang apa itu hukum dan keadilan yang ada di negeri ini. Setiap kali sang pemimpin sidang bertanya tentang pelanggaran kepada seorang korban (aku sebut korban karena menurutku pada dasarnya mereka adalah korban ketidakadilan dan korban hukum yang berkepentingan)
, alibi sang pemimpin membaca buku yang berisi pasal-pasal dan denda yang harus dibayarkan, padahal di sini ada beberapa kasus yang menurut aku dendanya tidak sesuai.
Sebut saja seorang korban bernama A, saat ditanya sang hakim, "Kasusnya apa mas?" "Tidak bawa helm" langsung tanpa basa-basi sang hakim pun dengan lantang menjawab "40 ribu, silakan langsung keluar". Ada lagi korban B yang tidak membawa SIM, maka langsung dikenakan denda 75 ribu, dan beda lagi dengan korban C yang saat ditanya kasusnya tidak bawa SIM dan helm, langsung dijawab sang hakim "80 ribu, silakan langsung keluar". Dari ketiga kasus ini aja sudah ada yang tidak beres dengan pasal dan dendanya. Perhatikan saja yang kasusnya tidak bawa helm saja 40 ribu, yang tidak bawa SIM 75 ribu, sedangkan yang tidak bawa SIM dan helm hanya dikenakan denda 80 ribu, Adilkah itu?
Belum lagi melihat wajah Sang Pengadil yang seperti hanya mengira-ira besarnya denda. Sepertinya buku di depan tubuhnya yang seolah-olah tertulis pasal beserta besaran denda itu hanyalah sebuah pencitraan di depan publik saja.
Setelah sampai di luar ruang sidang dan telah membayar denda yang harus dibayarkan, maka betapa rasa ketidakpuasan dengan keadilan ini muncul kembali. Bagaimana tidak kalau mendengar bahwa besaran denda yang diterima oleh korban dengan jenis kasus sama tapi di sidang di ruang berbeda dengan hakim yang berbeda pula, mereka mendapatkan denda yang lebih kecil besarannya dengan denda yang di terima korban (tersangka-red ) di ruang sidang 2. Apakah memang pasal untuk tiap hakim itu berbeda? hahahahha Alangkah lucunya hukum dan keadilan di negeri yang katanya berasas atas hukum ini.
Share:

Iqro'

Kawanku

Powered by Blogger.